Myths and stories are unique to man and powerful for societies to unite around complex ideas to achieve a greater good. But myths should not be confused with lies, or anti-truths (Matthew J Gounis-Neurointervention: a call to science).
Digital Subtraction Angiography (DSA) merupakan suatu modalitas pencitraan untuk melihat pembuluh darah. Ada modalitas pencitraan lain selain DSA, yaitu CT angiography (CTA) dan MR angiography (MRA). DSA memiliki keunggulan dibanding keduanya, memiliki kemampuan deteksi tinggi untuk kelainan pembuluh darah (mendekati 100% apabila dilakukan dengan kombinasi 3D angiografi) dan merupakan gold standard (baku emas).
DSA yang digunakan untuk melihat pembuluh darah otak, jamak dikenal dengan sebutan cerebral DSA. Para dokter di senter-senter neurosains seringkali menyebut modalitas diagnostik ini dengan DSA saja. Prosedur ini umumnya dilakukan dengan anastesi lokal di ruangan kateterisasi. Dokter Neurointervensi akan memasukkan kateter melalui pembuuh darah di pangkal paha/atau lengan, kemudian menaikkan kateter tersebut menuju pembuluh darah yang di tuju. Setelah itu, dilakukan injeksi kontras (yang di campur dengan heparin dan cairan fisiologis Nacl 0.9%). Gambar pembuluh darah bisa dilihat secara selektif dengan menghilangkan (mensubtraksi) gambaran jaringan yang lain (otak, tulang dan jaringan ikat). Apabila ditemukan kelainan, maka akan ditindaklanjuti dengan prosedur intervensi sebenarnya, misalnya trombektomi pada stroke akut, coiling pada aneurisma, embolisasi pada AVM, atau stenting pada penyempitan pembuluh darah.
Namun apa mau dikata, cerebral DSA yang merupakan modalitas diagnostik gold standard dan sangat diperlukan, saat ini pengajuan prosedur tersebut banyak dipersulit oleh pihak asuransi. Apabila seorang dokter akan melakukan DSA, beberapa asuransi mempertanyakan dan bahkan menolak. Cerebral DSA yang selama ini memiliki makna standar di seluruh dunia, menjadi menyempit maknanya di Indonesia.
Mengapa hal ini terjadi? Kisahnya dimulai mungkin pada 27 Juni 2011, saat majalah Tempo memuat berita tentang “Brain Wash” pada stroke. Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi “Brain Spa” dan DSA trombolitik. Prosedur tersebut sebenarnya adalah cerebral DSA standar, prosedur diagnostik, namun dikemas dengan nama baru agar lebih seksi dan di klaim memiliki nilai terapi atau preventif. Kemudian, isu ini menggelinding sedemikian rupa dan meredup saat ini, karena memang klaim tersebut memiliki dasar ilmiah yang miskin.
Sejak saat itu, ketika seorang neurointervensionis merencanakan tindakan cerebral DSA (standar diagnostik), maka pihak asuransi mengkonotasikan dan menganggap bahwa yang dikerjakan adalah bentuk “Brain Wash” atau yang serupa itu. Maka, bisa dibayangkan, urusan birokratis menjadi panjang, dimana dokter harus menjelaskan lagi satu persatu maksud prosedur DSA diagnostik ini pada asuransi. Tentu saja pihak asuransi punya alasan curiga berlebihan, karena mereka hanya mau menerima klaim untuk tindakan yang mengikuti guideline dan konsensus ilmiah yang jelas. Saat ini, menyebut modalitas diagnostik sebagai suatu cerebral/spinal arteriografi lebih di sukai, dibanding menyebut cerebral DSA yang “dicurigai.”
Dalam perjalanan sejarah, makna kata memang bisa meluas, bisa juga menyempit. Namun sejarah terus mencatat, yang memberikan manfaat bagi umat manusia akan dapat bertahan lama dan lebih abadi. Sesuatu yang tampak ramai dan sensasional seringkali hanya fenomena sesaat. Pesta pora media. Bukankah putih melati lebih bermakna abadi dari flamboyan yang merah merona?