Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Monday, 15 November 2021

Nanti Kau Tahu…

Habiskan saja waktu emasmu,

Menukarnya dengan debu

Kilau indahnya berlalu begitu,

Tatap penuh sadar, masih tega kau lewatkan

 

Pelihara saja lalai, 

Besarkan profan menyelisih keabadian

Biarkan diri terseret jauh,

Singkirkan sauh cinta sehati penuh

 

Nanti kau akan tahu….

Nikmat yang kau anggap,

Tergagap nyata hanya sesaat

 

Nanti kau akan tahu….

Penting yang kau kira,

Tanpa makna di hadapan-Nya

Saturday, 6 November 2021

Harga Dokter

Waktu masih pagi, selepas subuh, seorang dokter senior, tampak memasuki ruangan perawatan. Ruangan ini dipenuhi pasien kelas tiga. Tempat kebanyakan rakyat jelata. Didampingi perawat, disapanya pasien, dijabat tangannya dan diperiksa dengan seksama. Pada pasien yang secara klinis berat dan tak punya banyak harapan, disanalah makin banyak waktu beliau habiskan. Tak tampak terburu-buru, tak tampak tergesa-gesa.

 

Para perawat dan dokter muda banyak bertanya-tanya. Bagi dokter senior, terkenal dan kompeten sekaliber beliau, sesungguhnya sudah waktunya membatasi pasien.  Sudah selayaknya hanya merawat pasien kelas utama, paviliun, VVIP atau apalah namanya. Namun, beliau justru merawat pasien dan menerima pasien dengan status “penerima bantuan iuran,” yang seringkali biaya perawatannya melebihi plafon, dan rumah sakit maupun dokter tidak mendapatkan jasa atas perawatannya. 

 

Tampaknya beliau tak peduli. Rumah sakit tempat beliau mengabdi adalah rumah sakit kelas menengah, penerima pasien Jaminan Kesehatan Nasional. Sebagian besar pasien adalah rakyat jelata, para kaum lemah, atau kaum dhu'afa. Maka, tentu saja bagi para pasien tersebut, harapan kesembuhannya hanya Allah dengan wasilah rumah sakit ini. 

 

Wajah-wajah pasien dan keluarganya masih segar dalam ingatan. Wajah-wajah pasrah kaum papa. Wajah yang tidak banyak bertanya, tidak banyak mengeluh dan tak berani komplain dengan berbagai macam pelayanan. Maka, kehadiran dokter dan tegur sapa beberapa waktu, penjelasan secukupnya, sungguh merupakan harapan dan tetes embun yang meneduhkan untuk mereka. 

 

Selepas waktu sholat, di sudut musholla kecil rumah sakit. Seorang dokter muda memberanikan diri bertanya, mengapa beliau begitu sabar dan masih memberikan begitu banyak waktu untuk merawat pasien-pasien bangsal itu. Beliau menghela nafas, dan tampak tak ingin bercerita. Lalu beliau berkata “apa yang saya lakukan bukanlah kebaikan.” 

 

Kemudian beliau melanjutkan, “Saya orang yang awam dalam agama, dalam beribadah belum pernah merasakan nikmatnya sujud, tidak memahami kitab suci agama saya sendiri, jauh dari para ulama.” Bagaimana mungkin saya berharap baik? berharap pahala? Saya merasa tak pantas dan malu akan semua itu.” Satu-satunya harapan, semoga senyum dan rasa bahagia mereka, memperingan langkah saya, yang sudah berat dengan dosa. Adakah senyum mereka, bisa menjadikan sekedar temaram di alam kubur saya yang gelap gulita?”

Monday, 1 November 2021

Karena Klaim Setitik, Rusak DSA Sebelanga



Myths and stories are unique to man and powerful for societies to unite around complex ideas to achieve a greater good. But myths should not be confused with lies, or anti-truths (Matthew J Gounis-Neurointervention: a call to science).


Digital Subtraction Angiography (DSA) merupakan suatu modalitas pencitraan untuk melihat pembuluh darah. Ada modalitas pencitraan lain selain DSA, yaitu CT angiography (CTA) dan MR angiography (MRA). DSA memiliki keunggulan dibanding keduanya, memiliki kemampuan deteksi tinggi untuk kelainan pembuluh darah (mendekati 100% apabila dilakukan dengan kombinasi 3D angiografi) dan merupakan gold standard (baku emas).

 

DSA yang digunakan untuk melihat pembuluh darah otak, jamak dikenal dengan sebutan cerebral DSA. Para dokter di senter-senter neurosains seringkali menyebut modalitas diagnostik ini dengan DSA saja. Prosedur ini umumnya dilakukan dengan anastesi lokal di ruangan kateterisasi. Dokter Neurointervensi akan memasukkan kateter melalui pembuuh darah di pangkal paha/atau lengan, kemudian menaikkan kateter tersebut menuju pembuluh darah yang di tuju. Setelah itu, dilakukan injeksi kontras (yang di campur dengan heparin dan cairan fisiologis Nacl 0.9%). Gambar pembuluh darah bisa dilihat secara selektif dengan menghilangkan (mensubtraksi) gambaran jaringan yang lain (otak, tulang dan jaringan ikat). Apabila ditemukan kelainan, maka akan ditindaklanjuti dengan prosedur intervensi sebenarnya, misalnya trombektomi pada stroke akut, coiling pada aneurisma, embolisasi pada AVM, atau stenting pada penyempitan pembuluh darah.

 

Namun apa mau dikata, cerebral DSA yang merupakan modalitas diagnostik gold standard dan sangat diperlukan, saat ini pengajuan prosedur tersebut banyak dipersulit oleh pihak asuransi. Apabila seorang dokter akan melakukan DSA, beberapa asuransi mempertanyakan dan bahkan menolak. Cerebral DSA yang selama ini memiliki makna standar di seluruh dunia, menjadi menyempit maknanya di Indonesia.

 

Mengapa hal ini terjadi? Kisahnya dimulai mungkin pada 27 Juni 2011, saat majalah Tempo memuat berita tentang “Brain Wash” pada stroke. Istilah tersebut kemudian berkembang menjadi “Brain Spa” dan DSA trombolitik. Prosedur tersebut sebenarnya adalah cerebral DSA standar, prosedur diagnostik, namun dikemas dengan nama baru agar lebih seksi dan di klaim memiliki nilai terapi atau preventif. Kemudian, isu ini menggelinding sedemikian rupa dan meredup saat ini, karena memang klaim tersebut memiliki dasar ilmiah yang miskin.

 

Sejak saat itu, ketika seorang neurointervensionis merencanakan tindakan cerebral DSA (standar diagnostik), maka pihak asuransi mengkonotasikan dan menganggap bahwa yang dikerjakan adalah bentuk “Brain Wash” atau yang serupa itu. Maka, bisa dibayangkan, urusan birokratis menjadi panjang, dimana dokter harus menjelaskan lagi satu persatu maksud prosedur DSA diagnostik ini pada asuransi. Tentu saja pihak asuransi punya alasan curiga berlebihan, karena mereka hanya mau menerima klaim untuk tindakan yang mengikuti guideline dan konsensus ilmiah yang jelas. Saat ini, menyebut modalitas diagnostik sebagai suatu cerebral/spinal arteriografi lebih di sukai, dibanding menyebut cerebral DSA yang “dicurigai.” 

 

Dalam perjalanan sejarah, makna kata memang bisa meluas, bisa juga menyempit. Namun sejarah terus mencatat, yang memberikan manfaat bagi umat manusia akan dapat bertahan lama dan lebih abadi. Sesuatu yang tampak ramai dan sensasional seringkali hanya fenomena sesaat. Pesta pora media. Bukankah putih melati lebih bermakna abadi dari flamboyan yang merah merona?