Ada mata menatap sayu, pada sebuah pintu. Cukup lama, wanita tua itu tertegun dalam ketidakmengertian, tentang nasib putri-nya yang tak menentu, ini berbeda, dengan nasib pasien-pasien yang berada di balik pintu.
Sudah hampir dua bulan ia meninggalkan desa, mengantar anaknya untuk berobat ke kota, dokter di daerahnya menyebut, inilah rumah sakit paling terkemuka, yang akan meringankan sakit putrinya. Sang putri memerlukan operasi, namun sampai saat ini tak kunjung terjadi, betapa panjangnya antrian, demikianlah menurut informasi yang didapatkan.
Genap dua bulan, dikunjunginya kembali pintu itu. Konon, dari sesama keluarga pasien dia mendengar cerita, bahwa pintu itu adalah “Pintu Nasib,” pintu yang memisahkan dua area rumah sakit, satu bagian dibalik pintu adalah gedung megah kokoh berdiri, tempat orang berkelas secara ekonomi, sedang di tempatnya berdiri, tempat putrinya dirawat, adalah tempat kebanyakan rakyat.
Masih menurut cerita, jika Anda berada dibalik pintu itu, Anda akan dilayani sepenuh hati, untuk operasi, tak perlu menunggu sampai berhari-hari. Antrian bisa di geser, jadwalpun bisa diatur secara lentur, tidak lagi sampai mundar-mundur.
Wanita tua itu, sudah lelah berkeluh kesah, tak tahu pada siapa lagi akan mengadu. Bekal dari desa sudah habis, bekal yang didapatnya dari berjualan di pasar setiap hari, dan kini harus terhenti. Namun jika memaksa pulang, tak terbayang nasib putri semata wayang.
Saat mendung bergelanyut di atas atap Rumah Sakit, dihampiri-nya pintu itu, disentuhnya daun pintunya dengan tangan dan bibir yang bergetar. “ Wahai pintu, begitu hebatnya dirimu, mampu memisahkan nasib manusia, yang sakit disekitarmu.”
“Wahai Pintu, pada siapa Aku mengadu…...
Apakah pada Presiden atau pada Gubernur Aku mengadu, mungkin beliau menjawab, itu bukan urusanku….
Apakah pada Direktur Aku bertanya, mungkin beliau menjawab, masing-masing sudah ada tugasnya….
Apakah pada Dokter Aku berkeluh, beliau akan berkata, kami hanyalah petugas pelaksana….
Aku tahu......, ini salahku saja, kenapa menjadi miskin papa....."
“Wahai Pintu, rasanya Aku sudah tidak mampu, lidahku kelu….kini Putriku sudah berpulang, dia memang tidak mampu memasuki pintu-mu, biarlah dia memasuki pintu sorga bersama seluruh kesabaran jiwa-nya.”
“ Wahai Pintu, sampaikan salamku untuk semua yang melalui-mu, ceritakanlah pada mereka, Aku seorang ibu tua, bermimpi melihat taman sorga, dan taman itu berada di bangsal para penderita, yang berisi rakyat jelata.”