Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Friday, 9 June 2017

“Pintu Nasib” di Sudut Rumah Sakit

Ada mata menatap sayu, pada sebuah pintu. Cukup lama, wanita tua itu tertegun dalam ketidakmengertian, tentang nasib putri-nya yang tak menentu, ini berbeda, dengan nasib pasien-pasien yang berada di balik pintu.

Sudah hampir dua bulan ia meninggalkan desa, mengantar anaknya untuk berobat ke kota, dokter di daerahnya menyebut, inilah rumah sakit paling terkemuka, yang akan meringankan sakit putrinya. Sang putri memerlukan operasi, namun sampai saat ini tak kunjung terjadi, betapa panjangnya antrian, demikianlah menurut informasi yang didapatkan.

Genap dua bulan,  dikunjunginya kembali pintu itu. Konon, dari sesama keluarga pasien dia mendengar cerita, bahwa pintu itu adalah “Pintu Nasib,” pintu yang memisahkan dua area rumah sakit, satu bagian dibalik pintu adalah gedung megah kokoh berdiri, tempat orang berkelas secara ekonomi, sedang di tempatnya berdiri, tempat  putrinya dirawat, adalah tempat kebanyakan rakyat.

Masih menurut cerita, jika Anda berada dibalik pintu itu, Anda akan dilayani sepenuh hati, untuk operasi, tak perlu menunggu sampai berhari-hari. Antrian bisa di geser, jadwalpun bisa diatur secara lentur, tidak lagi sampai mundar-mundur.

Wanita tua itu, sudah lelah berkeluh kesah, tak tahu pada siapa lagi akan mengadu. Bekal dari desa sudah habis, bekal yang didapatnya dari berjualan di pasar setiap hari, dan kini harus terhenti. Namun jika memaksa pulang, tak terbayang nasib putri semata wayang.

Saat mendung bergelanyut di atas atap Rumah Sakit, dihampiri-nya pintu itu, disentuhnya daun pintunya dengan tangan dan bibir yang bergetar. “ Wahai pintu, begitu hebatnya dirimu, mampu memisahkan nasib manusia, yang sakit disekitarmu.”

“Wahai Pintu, pada siapa Aku mengadu…...
Apakah pada Presiden atau pada Gubernur Aku mengadu, mungkin beliau menjawab, itu bukan urusanku….
Apakah pada Direktur Aku bertanya, mungkin beliau menjawab, masing-masing sudah ada tugasnya….
Apakah pada Dokter Aku berkeluh, beliau akan berkata, kami hanyalah petugas pelaksana….
Aku tahu......, ini salahku saja, kenapa menjadi miskin papa....."

“Wahai Pintu, rasanya Aku sudah tidak mampu, lidahku kelu….kini Putriku sudah berpulang, dia memang tidak mampu memasuki pintu-mu, biarlah dia memasuki pintu sorga bersama seluruh kesabaran jiwa-nya.”

“ Wahai Pintu, sampaikan salamku untuk semua yang melalui-mu, ceritakanlah pada mereka, Aku seorang ibu tua, bermimpi melihat taman sorga, dan taman itu berada di bangsal para penderita, yang berisi rakyat jelata.”

Wednesday, 7 June 2017

Dokter Dunia, Dokter Akhirat.......

Usianya sudah tidak muda lagi. Sudah hampir memasuki dekade ke-enam. Seorang dokter senior dengan popularitas yang tak terbantahkan. Dengan gelar akademis panjang serta pasien antri berjajar tiap malam, tak perlu ditanya sebarapa banyak pemasukan yang beliau dapatkan.

Malam itu beliau begitu gelisah, seolah baru tersadar bahwa perjalannya telah demikian panjang. Mulai muncul pertanyaan dalam dirinya, apakah rutinitas yang menghabiskan waktunya puluhan tahun, siang-malam, memiliki nilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya.

Ingatannya kembali berputar, betapa beliau habiskan banyak masa dan tenaga untuk menuntut ilmu, akhirnya tersandanglah gelar berjajar-jajar, bukan hanya dari dalam negeri, namun juga gelas prestisius dari luar negeri. Namun, apakah ini cukup bernilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya nanti ?

Terbayang betapa banyak pasien yang telah beliau tangani, hari-harinya habis untuk praktek dan visite di berbagai rumah sakit, tenaga dan waktunya  didedikasikan untuk penderita. Namun, apakah ini cukup bernilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya nanti ?

Dilihatnya, tumpukan karya ilmiah dan disertasi para mahasiswa yang telah ia bimbing, tak terkira banyak waktu yang beliau habiskan untuk mengajar dan mengarahkan, dan tak terhitung banyaknya mahasiswa yang telah berhasil, di bawah asuhan tangan dinginnya. Namun, apakah ini cukup bernilai dihadapan Allah saat akhir hayatnya nanti ?

Sang dokter tak mampu menjawab kegelisahannya selama berhari-hari. Dan malam ini adalah puncaknya. Akhirnya, datanglah sang dokter menemui seorang Guru Sufi, yang sungguh hanya dari memandang wajahnya saja, sejuk rasa menusuk hati.

Sang dokter bercerita panjang tentang kisah perjalanan hidupnya, dan diakhiri dengan pertanyaan, “ Apakah semua amalan yang telah saya lakukan adalah  amalan dunia, apakah amalan tersebut memiliki nilai di akhirat kelak ?”

Sang Guru memandang wajah gelisah itu, dan kemudian menjawab, “ Ada amalan yang tampaknya merupakan amalan dunia, tapi sebenarnya merupakan amalan akhirat.” Namun, “Ada pula amalan yang tampaknya merupakan amalan akhirat, tapi sebenarnya hanya sekedar amalan dunia.” Sang dokter tertegun, beliau masih belum sepenuhnya mengerti.

Sang Guru Sufi melanjutkan, “ Amalan apapun yang dapat mendekatkan Anda kepada Allah, itulah amalan akhirat”. “Amalan apapun yang dapat menjauhkan Anda dari Allah, itulah amalan dunia”

“Sehingga, hanya Anda sajalah yang tahu nilai amalan Anda, apakah amalan dan kegiatan Anda menjadikan Anda lebih dekat kepada Allah, ataukah semakin menjauhkan Anda dari-Nya. Itulah batas amalan dunia dan akhirat.” Demikian sang Guru Sufi mengakhiri.

Sang dokter duduk terpekur, menundukkan kepala, beliau menyadari, sebagian besar amalan yang beliau kerjakan berpuluh-puluh tahun, menghabiskan waktu siang malam, nyatanya, tidak menjadikan beliau lebih dekat pada Allah, namun sering melupakan-Nya. Tak terbilang betapa sholatnya amat singkat dan sering lalai, karena terburu kesibukan dan tugas yang tak terbatas. Betapa gelar yang panjang berderet-deret tidak membuatnya lebih dekat ke tempat sujud, namun lebih sering membuatnya mendongakkan kepala, dan berbangga- bangga di hadapan manusia.

Air mata mengalir deras di wajah sang dokter, sungguh waktu siang malam merawat pasien, tidak menjadikannya ingat dan bersyukur, hingga semakin dekat dengan Allah. Motivasinya semata, lebih hanya untuk mengumpulkan harta dunia. Masih terbayang basah dalam ingatannya, bagaimana hatinya enggan merawat pasien dari kalangan bawah, karena tak mampu memberikan jasa medis layak untuk dokter sekaliber dirinya. Namun, dengan serta merta dengan senang hati merawat pasien kelas atas, dengan asuransi tak terbatas.

Suasana sesaat hening, kemudian Sang Guru Sufi meraih tangannya, membimbingnya untuk berdoa berulang-ulang, “ Ya Allah, jadikanlah seluruh amalan kami, menjadi amal sholih yang Engkau terima, dan bukan amalan yang sia-sia, yang Engkau lemparkan kembali ke wajah-wajah kami pada hari perhitungan, hanya Engkaulah yang Maha Pengasih dan Penyayang.”