Umumnya, fellow hanya membuka-buka saja lembaran-lembaran itu, tanpa dapat memahaminya dengan seksama, lalu meninggalkannya. Buku yang berbicara tentang embriologi, variasi anatomis, konsep dan filosofi bagi mereka tidak menarik. Mereka lebih tertarik dengan buku neurointervensi lain yang lebih practical dan to the point. Mereka biasanya menyapa buku ini hanya semata-mata ingin tahu, mengapa buku ini demikian banyak disitasi dan dipuji para neurointerventionist dunia. Bisa dikatakan merupakan “Kitab Suci” neurointervensi.
Seorang fellow yang baru saja
menyelesaikan pendidikan fellowship-nya selama satu tahun dari Zurich,
Switzerland berkata “ Honestly…..I rarely read that book, it’s very hard…”
Namun, apa daya, setelah seorang Nevi telah melakukan banyak prosedur, maka mau-tidak mau mereka akan kembali ke buku ini. Dan, sungguh mencengangkan, apa yang dulu tidak mereka pahami, ternyata buku inilah yang membantu mereka dalam praktis prosedur intervensi, terutama dalam hal decision making kasus-kasus kompleks. Pemahaman ini muncul karena seorang nevi telah beranjak dari level Basic ke level Intermediate dan selanjutnya bergerak menuju level Advanced.
Rasanya, menganalogikan pemahaman kita
akan Kitab Suci kita sendiri dengan kasus ini sangat relevan. Berapa banyak
kitab suci agama ada di rumah-rumah kita, namun jarang sekali kita sentuh, dan
itu mungkin hanya karena kita tidak memahaminya. Ketertarikan kita akan kitab
suci, tampaknya berkorelasi dengan pengetahuan berkenaan dengan ilmu bantu
dalam memahami kitab suci ini.
Kunci memahami “Surgical
Neuroangiography” adalah memahami anatomi neurovaskuler dan neuroangiografi
secara paripurna. Bukan hanya dipahami, namun diaplikasikan dan dianalisa dalam
setiap prosedur neurointervensi. Lasjaunias, pengarang buku ini, berkata
“ anatomy is a language, mastering this anatomy is essential for
physician who involve on the management of the CNS”
Maka, memahami buku ini tentu harus
mengerti “bahasa“ yang dipakai didalamnya, dan bahasa itu adalah anatomi
neurovaskuler.
Maka yang banyak terjadi dalam kehidupan
keagamaan adalah, kita membaca kitab suci tanpa memahami “bahasa” yang
dipakai oleh kitab suci tersebut. Bagi Muslim dengan Al-Qur’an sebagai kitab
sucinya, memahami “bahasa” al-Qur’an tidak semata memahami bahasa Arab arti
kata perkata an sich, namun juga memahami ilmu tata bahasa (Nahwu, Sharaf,
Balaghah), dan ilmu-ilmu yang melingkupinya semacam tafsir, dan asbabun nuzul.
Jangan-jangan, kita selama ini enggan
dan jarang menyentuh kitab suci karena memang kita tidak mampu
memahaminya dengan baik.
Jangan-jangan kedahsyatan dan keindahan
kitab suci ini tidak kita rasakan karena kita tidak mampu merasakan
sentuhannya.
Jangan-jangan kita membaca kitab suci
hanya sekedar membaca saja tidak menangkap makna dan pelajaran penting untuk
diaplikasikan.
Jangan-jangan banyak perilaku-perilaku
tak layak dengan mengatasnamakan agama karena kita gagal memahami ”bahasa”
kitab suci yang kita baca.
Jangan-jangan…………………………
No comments:
Post a Comment