Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Thursday, 21 April 2016

“Brain Washing” pada stroke dan "Neurointerventional Bubble"

Memahami fenomena “Brain Washing” pada stroke ternyata tidak bisa di pandang dari sisi medis semata. Fenomena “Brain Wash” ini muncul belakangan setelah banyaknya fellow neurointervensi berdatangan dan melakukan tindakan neurointervensi.

“Neurointerventional Bubble,” adalah istilah di dunia yang sering dipakai untuk menggambarkan banyaknya dokter yang belajar tindakan neurointervensi. Ada kekawatiran pada neurointerventionist di Amerika, bahwa makin banyak neurointerventionist baru, makin sedikit prosedur mereka. Sebagian mereka meminta agar fellowship neurointervensi sementara di hentikan (suspended indefinitely).

Tercatat, untuk Indonesia, dengan berkembang pesatnya ilmu neurointervensi dan semakin banyaknya senter yang menerima fellow, maka baik neurologi, bedah saraf maupun radiologi berusaha menguasai kompetensi ini.

Tak dapat dipungkiri,  mulanya ilmu ini berkembang dalam ranah radiologi. Namun, dengan berjalannya waktu, ketiga spesialiasasi di atas, masing-masing telah berkompeten melakukan tindakan intervensi, baik diagnostik maupun terapeutik.

Dampak dari semua ini tentu saja berhubugan dengan perubahan distribusi pasien. Sebelumnya, baik neurologi maupun bedah saraf sebagai klinisi dan dokter penanggung jawab primer (DPJP) akan mengirimkan pasiennya pada sejawat lain untuk tindakan neurointervensi. Kemudian saat ini, pasien- pasien tersebut dapat dikerjakan sendiri oleh neurologi dan bedah saraf. 

Dalam situasi isu neurointerventional bubble, Maka muncul-lah terminologi Brain Washing” yang merupakan produk "rebranding". Cerebral DSA yang hanya diagnostik di “branding” menjadi “Brain Washing,” menjadi produk terapeutik dan preventif untuk stroke, belakangan untuk penyakit saraf yang lain. Rupanya strategi ini cukup berhasil, meskipun menjadi pro-kontra dan ada dua kubu dalam menyikapinya.

Sehingga, memahami fenomena ini dari sudut pandang ilmiah an sich mungkin cukup absurd. Seberapa banyaknya-pun acara ilmiah dengan membahas pro dan kontra mungkin tidak akan menghentikan strategi marketing ini. Alih-alih menghentikan malahan akan membantu menyebarkan isu dan menjadi iklan gratis bagi “Brain Wash,” mungkin saja termasuk tulisan ini :-)

Tuesday, 12 April 2016

Otokritik : Memahami Kitab Suci

Buku itu berjudul “Surgical Neuroangiography,”  sebanyak 3 jilid tebal, hanya teronggok di sudut work station sebuah rumah sakit, senter fellow neurointervensi terkemuka. Beberapa orang fellow terkadang masih sempat “menyapa” buku itu, disela jeda prosedur yang biasanya sambung menyambung seharian. Buku itu sengaja disediakan oleh sang mentor, tentu agar di baca dan dipelajari. Dan sering sekali sang mentor berkomentar  “ What a beautiful book…!


Umumnya, fellow hanya membuka-buka saja lembaran-lembaran itu, tanpa dapat memahaminya dengan seksama, lalu meninggalkannya. Buku yang berbicara tentang embriologi, variasi anatomis, konsep dan filosofi bagi mereka tidak menarik. Mereka lebih tertarik dengan buku neurointervensi lain yang lebih practical dan to the point. Mereka biasanya menyapa buku ini hanya semata-mata ingin tahu, mengapa buku ini demikian banyak disitasi dan dipuji para neurointerventionist dunia. Bisa dikatakan merupakan “Kitab Suci” neurointervensi.

Seorang fellow yang baru saja menyelesaikan pendidikan fellowship-nya selama satu tahun dari Zurich, Switzerland berkata “ Honestly…..I rarely read that book, it’s very hard…”

Namun, apa daya, setelah seorang Nevi telah melakukan banyak prosedur, maka mau-tidak mau mereka akan kembali ke buku ini. Dan, sungguh mencengangkan, apa yang dulu tidak mereka pahami, ternyata buku inilah yang  membantu mereka dalam praktis prosedur intervensi, terutama dalam hal decision making kasus-kasus kompleks. Pemahaman ini muncul karena seorang nevi telah beranjak dari level Basic ke level Intermediate dan selanjutnya bergerak menuju level Advanced.

Rasanya, menganalogikan pemahaman kita akan Kitab Suci kita sendiri dengan kasus ini sangat relevan. Berapa banyak kitab suci agama ada di rumah-rumah kita, namun jarang sekali kita sentuh, dan itu mungkin hanya karena kita tidak memahaminya. Ketertarikan kita akan kitab suci, tampaknya berkorelasi dengan pengetahuan berkenaan dengan ilmu bantu dalam memahami kitab suci ini.

Kunci memahami “Surgical Neuroangiography” adalah memahami anatomi neurovaskuler dan neuroangiografi secara paripurna. Bukan hanya dipahami, namun diaplikasikan dan dianalisa dalam setiap prosedur neurointervensi. Lasjaunias, pengarang buku ini, berkata  “ anatomy is a language, mastering this anatomy is essential for physician who involve on the management of the CNS”
Maka, memahami buku ini tentu harus mengerti “bahasa“ yang dipakai didalamnya, dan bahasa itu adalah anatomi neurovaskuler.

Maka yang banyak terjadi dalam kehidupan keagamaan adalah,  kita membaca kitab suci tanpa memahami “bahasa” yang dipakai oleh kitab suci tersebut. Bagi Muslim dengan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya, memahami “bahasa” al-Qur’an tidak semata memahami bahasa Arab arti kata perkata an sich, namun juga memahami ilmu tata bahasa (Nahwu, Sharaf, Balaghah), dan ilmu-ilmu yang melingkupinya semacam tafsir, dan asbabun nuzul.

Jangan-jangan, kita selama ini enggan dan jarang menyentuh kitab suci karena memang kita tidak  mampu memahaminya dengan baik.
Jangan-jangan kedahsyatan dan keindahan kitab suci ini tidak kita rasakan karena kita tidak mampu merasakan sentuhannya.

Jangan-jangan kita membaca kitab suci hanya sekedar membaca saja tidak menangkap makna dan pelajaran penting untuk diaplikasikan. 

Jangan-jangan banyak perilaku-perilaku tak layak dengan mengatasnamakan agama karena kita gagal memahami ”bahasa” kitab suci yang kita baca.

Jangan-jangan…………………………