Ini kisah nyata, seorang laki-laki, 69 tahun.
Telah bertahun-tahun mengalami kelumpuhan bagian tubuh kanan akibat stroke
perdarahan. Keinginannya untuk memulihkan kelumpuhan tersebut sangatlah besar.
Saat mendengar testimoni tentang ‘Brain Washing’ pada stroke, bertolaklah dia
ke Jakarta. Setelah dilakukan prosedur tersebut, kelumpuhannya tidak membaik.
Oleh sang dokter dijanjikan akan diulang prosedurnya beberapa bulan lagi.
Setelah prosedur yang kedua, ternyata kelumpuhannya tetap saja tidak berubah.
Dari sini, mulailah dia mencoba percaya pada beberapa dokter lain, yang sebelumnya pernah memberinya advis,
bahwa prosedur “Brain Washing’ hanyalah
prosedur diagnostik yang tidak memiliki nilai terapi. Namun, apa boleh dikata,
namanya saja usaha.
Tidak berhenti di sana, mulailah dia mencari
prosedur pengobatan lain. Dia tertarik akan stem cell. Prosedur ini diikutinya
di dua kota di Jawa tengah. Konon sampai beberapa kali dilakukan injeksi stem
cell. Sampai pada titik tertentu, ternyata pengobatan stem cell juga belum
merubah sedikitpun kelumpuhannya. Sekali lagi, dia baru percaya akan advis
beberapa dokter, bahwa stem cell belum ada bukti ilmiah yang nyata, dan secara medis belum terbukti memberikan efek terapi pada stroke.
Kemudian
mencuat isu stem cell yang dapat di masukkan langsung ke cairan otak,
berita tersebut berasal dari Surabaya. Pasien tersebut kini mulai ragu-ragu,
namun masih saja ada keinginan untuk mencoba.
Mengikuti isu-isu neurosains di Indonesia
ngeri-ngeri sedap. Isu-isu tersebut timbul tenggelam secara bergantian.
Menariknya, isu tersebut menjadi booming karena tehnik marketing berupa
testimoni. Testimony bermakna the statement or declaration of a
witness under oath or affirmation. Dalam fenomena keseharian dapat dimaknai
kesaksian akan keberhasilan suatu prosedur. Testimoni dapat merupakan ‘iklan’
terselubung bahwa sesuatu itu bermanfaat dan memberikan dampak perubahan yang
besar.
Ternyata, bukan hanya masyarakat awam yang
tergoda, banyak sejawat dokter atau kelurganya, juga mencoba keampuhan
pengobatan berbasis testimoni tersebut. Berapa banyak yang tergoda, berapa
banyak yang mencoba dan berapa banyak pula yang gagal dan merasa tertipu. Tak
terhitung jumlah pasien yang ‘curhat’ pada dokter, telah melaui model
pengobatan-pengobatan diatas, namun tidak ada perbaikan.
Sangat jelas diajarkan dalam praktis klinis,
bahwa perosedur pengobatan medis modern saat ini haruslah menggunakan patokan evidence
based medicine. Dalam evidence base medicine terdapat tingkatan
kekuatan bukti, apakah sebuah prosedur medis tersebut bermanfaat atau tidak.
Bahkan pendapat seorang expert atau pakar di bidangnya memiliki
tingkatan terendah.
Testimony based medicine secara sederhana dapat dimaknai keberhasilan suatu prosedur terjadi karena
kebetulan. Keberhasilan tersebut sebenarnya tidak terkait dengan prosedur yang
dilakukan. Contoh sederhana adalah pemberian obat papaverin pada stroke puluhan
tahun silam. Papaverin dianggap mampu membuat pembuluh darah otak terdilatasi,
sehingga aliran darah akan menjadi lancar. Saat di aplikasikan pada pasien,
tampak beberapa pasien membaik secara klinis. Namun, beberapa pasien ternyata
juga tidak membaik. Setelah dibandingkan, ternyata tidak ada perbedaan
signifikan antara pasien yang membaik dan tidak membaik. Pasien yang tidak
diberikan papaverin-pun ternyata beberapa juga mengalami perbaikan. Logika
ilmiah sederhana ini tidak mampu di cerna oleh masyarakat awam.
Testimoni hanya akan menampilkan pasien-pasien
yang membaik, dan menyembunyikan fakta pasien yang tidak membaik, atau bahkan
mengalami komplikasi. Testimoni selalu mengunggulkan keberhasilan suatu
prosedur dengan bukti ilmiah yang miskin.
Beberapa dokter tanah air tercinta, yang
menggunakan testimony based dan tidak menggunkan evidence based, beralasan bahwa mereka saat ini sedang mencari
evidence. Pasien-pasien yang termakan dengan testimoni dijadikan sampel
percobaan mereka, dan parahnya pasien harus membayar prosedur yang belum tentu
bermanfaat bagi dirinya. Dalam ranah etika penelitian, sangat jelas, bahwa seorang pasien yang dijadikan
sampel penelitian haruslah bebas dari semua biaya, dan dia berhak mendapat
kompensasi seandainya terjadi komplikasi. Atau bahkan berhak akan fee
penelitian karena sudah menjadi volunteer.
Apa mau di kata, masyarakat sudah terlanjur
termakan testimoni. Pemerintahpun tampaknya menutup mata dan tidak hendak
melindungi masyarakat dari semua prosedur medis yang tidak memiliki dasar
ilmiah kuat (Evidence Based Medicine). Dalam terminologi lain,
masyarakat sudah terkena ‘peluru ajaib’ (bullet theory), yaitu
masyarakat yang melihat dan mendengar iklan-testimoni, segera ingin mencobanya.
Maka marilah menyanyikan satu bait syair dari
lagu Iwan Fals....”Apa boleh buat, tahu kembung bulat-bulat, apa boleh
buat......................”
Dok, kalau heparin flushing itu sama dengan brain wash ga sih? Terimakasih.
ReplyDeleteBenar mbak Dhewiberta. Nama heparin flushing merupakan penjelmaan dari Brain wash. Prosedur Brain wash menjelma menjadi banyak nama setelah para dokter secara akademis menyatakan prosedur itu hanya bernilai diagnostik dan bukan terapi. Nama lainnya adalah Brain spa dan DSA trombolisis. Semata-mata agar prosedur ini memiliki peminat. Sekali lagi, flushing heparin adalah prosedur standar yang memang dilakukan pada angiografi cerebral, untuk mencegah terjadinya bekuan darah saat angiografi (kateterisasi) dilakukan. Heparin tidak dapat menghilangkan trombus atau plak yang sudah terjadi di pembuluh darah arteri. prosedur angiografi cerebral sudah dilakukan sejak awal tahun 1960-an, dan heparin merupakan bagian integral prosedur ini. Salam.
ReplyDeleteDok,kalau begitu, pada pasien infark, cara mendapatkan penyembuhannya bgmn? Bgmn menghilangkan sumbatan di pembuluh darah otak? Bgmn mencegah agar sumbatan di satu titik tidak bertambah panjang?
ReplyDeletePada pasien stroke infarction, penyembuhan (terapi) dapat berarti dua hal, pertama, penyembuhan dalam arti menghilangkan sumbatan pada pembuluh darah otak yang telah terjadi, dilakukan pada fase hiperakut. Kedua, penyembuhan terhadap disabilitas/kecacatan akibat stroke. Untuk meluruhkan sumbatan hanya bisa dilakukan dengan obat-obatan trombolisis (disebut rTPA, Alteplase) jika < 4.5 jam dengan menginjeksikan melalui jalur infus intravena. Jika sumbatan pada pembuluh darah besar, dapat dilakukan dengan trombektomi, mengeluarkan bekuan darah itu dari sumbatan dengan tindakan neurointervensi/kateterisasi, dilakukan bisa sampai 24 jam pertama sesuai kriteria.
ReplyDeleteApabila telah melaui fase hiperkaut ini, perbaikan ditujukan untuk mencegah disabilitas dengan terapi medik dan rehabilitasi.
Agar sumbatan tidak bertambah panjang, diperlukan obat-obatan untuk mencegah terbentuknya plak-plak baru pada pembuluh darah, dan yang tidak kalah penting mengelola faktor resiko terbentuknya plak tersebut, misalnya regulasi gula darah untuk pasien diabet, regulasi tensi bagi penderita hipertensi atau berhenti merokok.