Dulu, neurolog sangat ingin, ada obat mujarab untuk stroke. Semua di coba, mulai papaverine, piracetam sampai citicoline. Apapun jenis stroke, obatnya sama, neuroprotektan adalah panacea. Saat melihat ujung jempol pasien bergerak, neurolog sungguh bahagia. Peran neurolog kala itu tak dipandang, kecuali dengan sebelah mata.
Setelah menunggu cukup lama. Tibalah suatu masa, obat trombolitik menjadi standar terapi, Class I Level A. Trombolitik alteplase harus diberikan dalam 4.5 jam. Ternyata, terapi ini hanya diberikan pada <2% pasien stroke. Ada banyak alasan; pasien datang terlambat, obat tidak ada, tim code stroke belum siap, obat tidak ditanggung BPJS (meskipun saat ini sudah dapat di klaim terpisah).
Kemudian, 2015, datanglah standar terapi baru, trombektomi, Class 1 Level A untuk large vessel occlusion (LVO). Berapa persen pasien yang mendapat terapi ini? tentu jauh lebih sedikit lagi. Alasannya; memerlukan tenaga ahli, memerlukan cathlab dan device yang mahal.
Sebentar lagi, trombolitik generasi baru hadir di Indonesia, Tenectepalse (TNK). Lebih superior dari alteplase dalam segala sisi. Banyak RCT dipublikasikan pada 2025 ini. Penggunaan TNK secara tersendiri sangat efektif, pemberian TNK mendahului trombektomi pada LVO sangat bermanfaat, pemberian TNK intra-arterial pasca trombektomi terbukti membuka sisa oklusi. TNK memungkinkan waktu pemberian dengan jendela waktu lebih lama, bisa sampai 24 jam. TNK mampu lebih banyak membuka LVO dibanding alteplase. Tunggu saja, tampaknya akhir 2026 atau awal 2027 akan masuk ke Indonesia.
Saat semua standar terapi stroke telah tersedia, saat semua bukti sudah tak terbantahkan, masih adakah seribu alasan untuk tidak memberikan-nya?
Indonesia membutuhkan Stroke (Super) Hero. Neurolog yang memiliki komitmen, niat, motivasi dan kesungguhan untuk mengaplikasikan standar terapi ini. Jika ada satu Stroke Hero di satu rumah sakit, kiranya cukup.
Stroke Hero adalah mereka yang dengan sepenuh hati menginisiasi, menyediakan diri untuk membentuk tim, merelakan waktu luang untuk evaluasi dan monitoring. Bukan hanya beropini, berwacana, mengharap terapi efektif stroke, dan saat standar terapi telah tersedia lantas mengabaikannya, membiarkan standar terapi tergeletak tak berguna.