Trombolisis intravena (IVT) memiliki jendela waktu sangat terbatas (<4.5 jam). Terapi standar stroke trombotik akut tanpa IVT adalah pemberian dual antiplatelet. Mulanya, antiplatelet dimaksudkan untuk prevensi sekunder. Namun, perburukan pasien stroke akut ternyata juga dipengaruhi oleh jenis pemberian antiplatelet (Oral vs Injeksi).
Antiplatelet injeksi (penyekat GP IIb/IIIa) sering digunakan oleh neurointervensionist saat prosedur. Pemasangan stent intrakranial yang mengalami thrombosis durante prosedur, diberikan antiplatelet intravena, dan memberikan efek rekanalisasi yang langsung bisa terlihat. Dia bukan fibrinolitik, tetapi bekerja melepas agregasi thrombosit yang baru saja terjadi, dikenal dengan dethrombosis.
Studi terbaru di JAMA Neurology (Zhao et al,2024) memberikan harapan pada pasien-pasien stroke hyperacute yang tidak dilakukan IVT. Tirofiban dengan bolus dalam 30 menit dan infus kontinyu selama hampir 72 jam (71,5 jam), ternyata mencegah perburukan pasien stroke (peningkatan NIHSS >4), jika dibandingkan dengan pemberian oral aspirin (4,2% vs 13,2 %). Kejadian perdarahan pada kedua kelompok tidak berbeda. Ini adalah suatu RCT yang memberikan harapan baru bagi pasien stroke. Penelitian ini menggunakan Tirofiban. Adapun antiplatelet injeksi yang sering dipakai di Indonesia adalah Eptifibatide, dan generasi yang lebih awal adalah Abciximab.