" Menganalisa dan mempelajari satu komplikasi prosedur dengan seksama, lebih mendewasakan seorang Neurointervensi, di banding merayakan keberhasilan puluhan prosedur yang membuatnya bangga diri."
Mempelajari neurovaskular hanya dari anatomi dan fisiologi saja, seolah melihat pantai hanya dari lukisan dinding yang indah namun tidak bergerak. Mempelajari neurovaskular dengan melakukan dan memahami angiografi serebral, bukan hanya menikmati keindahannya, namun merasakan hembusan angin laut dan deburan ombak pantai yang dinamis sekaligus menggetarkan.
idik
Saturday, 17 October 2020
Friday, 16 October 2020
Rekanalisasi Chronic Total Occlusion, Era Baru Neurointervensi ?
Evidence base tentang prosedur neurointervensi (Nevi), berkaitan dengan prevensi sekunder stroke, pada stenosis ekstra maupun intrakranial, belakangan makin meyakinkan. Dengan perkembangan device dan seleksi pasien yang tepat, prosedur neurointervensi makin lama makin menunjukkan manfaat signifikan.
Namun, tindakan neurointervensi untuk prevensi sekunder, pada kasus chronic total occlusion (CTO), belum terbukti secara meyakinkan. Padahal, sering sekali Nevi menemui kasus CTO dalam prosedur keseharian.
Semasa mengikuti fellowship Nevi, mungkin sebagian kita pernah menyaksikan, bagaimana total oklusi pada arteri karotis dilakukan rekanalisasi, hasilnya cukup baik dan meyakinkan. Atau, kita sering menyaksikan sejawat cardiointervensi melakukan rekanalisai pada CTO arteri koroner di cathlab.
Sampai saat ini belum ada panduan/guideline berkaitan dengan CTO pada pembuluh darah intrakranial. Namun, dalam praktek klinis, selalu saja ada prosedur yang mendahului guideline. Publikasi terbaru tentang rekanalisai total oklusi, pada kasus stroke yang terjadi lebih dari 24 jam, pada arteri vertebralis, membuka lebar kemungkinan ini (Stroke. 2020;51:00–00).
Gao et.al, melaporkan 50 kasus total oklusi pada arteri vertebralis, antara 30 sampai 60 hari dengan median 45 hari. Prosedur rekanalisasi dilakukan dengan balon dan self expandable stent (Wingspan). Tingkat keberhasilan rekanalisasi 80%, dengan komplikasi periprosedural sebesar 16% (dissection, thrombosis, perforasi). Namun, yang menarik, apabila dilakukan klasifikasi kasus dan dilakukan pemilihan pasien yang tepat, maka angka keberhasilan prosedur dan angka komplikasi menjadi minimal. Gao et.al, membuat 4 level klasifikasi CTO pada arteri vertebralis intrakranial. Level pertama memiliki angka keberhasilan prosedur paling tinggi (94.1%) dan tanpa komplikasi. Urutan keberhasilan prosedur level 1 sampai 4 secara berurutan adalah (94.1%, 76.9%, 70%, dan 50%) , sementara komplikasi peri-operatif makin meningkat dengan semakin tingginya level (0.0%, 7.7%, 20%, and 50%).
Membuat klasifikasi berdasarkan level ini, serupa dengan studi angioplasti pada stenosis intrakranial oleh Mori. Saat ini, klasifikasi Mori (Mori A, B, C) menjadi pijakan umum dalam pemilihan kasus stenting intrakranial, terbukti dengan dasar klasifikasi ini, keberhasilan prosedur tinggi dengan komplikasi minimal.
Rasanya, evidence base prosedur CTO pada neurointervensi tinggal menunggu waktu saja. Publikasi oleh Gao et.al., akan menjadi pematik diskusi dan stimulus munculnya studi berikutnya yang lebih meyakinkan. Jika saat ini Gao et.al, melaporkan untuk sirkulasi posterior, peneliti berikutnya mungkin membahas sirkulasi anterior intrakranial. Sementara sirkulasi anterior ekstrakranial (karotis), sebagian kita telah menyaksikan dan mungkin juga telah melakukannya. Kita tunggu saja berita baiknya.
Thursday, 15 October 2020
ICAD : Siapa dan Kapan ?
Ketika seorang neurointervensionist (Nevi) merencanakan suatu prosedur intracranial angioplasty dan stenting, maka tanyakanlah, pasien mana yang akan dikerjakan, lesi seperti apa dan kapankah waktu ideal untuk pengerjaannya. Tidak semua pasien stroke dengan intracranial atherosclerosis disease (ICAD) mendapat manfaat dari prosedur intracranial angioplasty dan stenting.
Pada stroke dengan ICAD, setidaknya ada 3 mekanisme berbeda. Satu diantaranya memiliki resiko stroke periprosedural dan luaran yang kurang baik jika dikerjakan tindakan neurointervensi.
Mekanisme stroke pada ICAD yang pertama adalah hipoperfusi (stroke hemodinamik), stroke inilah yang mendapat manfaat paling besar untuk tindakan angioplasti dan stenting. Mekanisme kedua adalah stroke embolik, berasal dari vulnerable plaque. Mekanisme kedua ini responsif terhadap terapi antiplatelet sekaligus statin, demikian juga dengan terapi neurointervesi. Mekanisme ketiga adalah stroke akibat small vessel occlusion pada lokasi ICAD. Terapi neurointervensi dilaporkan memiliki angka komplikasi yang tinggi dan memiliki manfaat minimal.
Kapan waktu tindakan neurointervensi juga berpengaruh terhadap luaran dan komplikasi. Apabila dilakukan pada fase akut ( kurang dari14 hari) memiliki potensi komplikasi yang lebih tinggi. Hal ini berkaitan dengan dengan “hot plaque” saat fase akut. Bebeda dengan waktu prosedur yang dilakukan lebih dari 14 hari.
Faktor berikutnya yang tak kalah penting adalah jam terbang operator. Makin tinggi jam terbang operator, makin bagus luaran klinis dan makin kecil angka komplikasi. Hal ini tentu saja bukan hanya soal frekuensi prosedur sang operator, namun juga ketajaman analisa sang operator dalam memilih kasus yang layak dilakukan tindakan neurointervensi.
Last but not least adalah karakteristik lesi. Apakah Mori A, Mori B atau Mori C. Untuk lesi ICAD dengan Mori C, memiliki angka keberhasilan tindakan paling rendah, sedangkan angka komplikasinya paling tinggi.
Bagi neurointervensionis, tidak semua yang tampak menyempit perlu di lebarkan. Dan tidak semua yang tampak menggembung (aneurysmatic) perlu di tutup. Do No Harm.
Monday, 12 October 2020
Tuhanku di sudut waktu
Habislah sudah…
Tak kan kembali
Sesamudra luas waktu pergi
Tanpa ada jejak mengingat-Mu
Mengapa ada enggan
Besimpuh pada-Mu di sudut waktu
Kemana pergi rindu menghamba
Adakah hanya tiba
Tatkala lemah tiada berdaya
Tuhanku…
Meskipun sesudut waktu
Semoga turun anugerah itu
Nikmat memanggil dan mengetuk pintu
Lantunkan sirri agung nama-Mu