Prosedur neurointervensi dapat berupa prosedur diagnostik
dan intervensi. Prosedur diagnostik secara praktis sering disebut sebagai “cerebral DSA” saja. Untuk melakukan
prosedur intervensi, seorang spesialis memerlukan suatu training yang adekuat.
Training yang direkomendasikan adalah minimal 1 tahun dengan jumlah dan jenis
kasus yang juga adekuat. Tanpa training adekuat, hanya akan menyebabkan
prosedur yang tidak aman dan menimbulkan banyak komplikasi.
Tahapan-tahapan prosedur ini dimulai dari observer, asisten
2, asisten 1 dan operator mandiri dengan supervisi. Dalam tahap-tahap tersebut,
ada kompetensi yang harus dikuasai. Pada tahap observer misalnya, seorang
fellow yang mengikuti training harus mampu membaca cerebral/spinal angiografi
normal dengan segala variasinya, serta mampu mengidentifikasi dan
mendeskripsikan patologi yang ditemukan. Tahap berikutnya harus mengetahui
indikasi dan kontraindikasi prosedur, persiapan pasien, pengenalan alat, tehnik
dan tahapan prosedur, dan akhirnya mampu melakukan prosedur secara mandiri.
Bagian yang juga penting dalam training ini adalah mengenali komplikasi dan
mengatasi komplikasi yang potensial terjadi.
Prinsip prosedur neurointervensi adalah KISS (keep it simple stupid), dimana, semakin cepat prosedur,
semakin simpel dan sedikit device yang kita pakai, maka akan semakin aman
prosedur tersebut. Prosedur yang kompleks memerlukan keahlian dan jam terbang
yang tinggi agar dapat berlangsung dengan aman dan sukses.
Sebagian besar neurointervensionis bekerja dalam cathlab yang
sama dengan sejawat cardiointervensi. Sebagian besar asisten perawat merupakan
perawat yang terlatih untuk prosedur cardiointervensi, namun bukan prosedur neurointervensi.
Mengingat terdapat perbedaan mendasar tentang filosofi, tehnik , dan device
antara cardiointervensi dan neurointervensi, maka diperlukan training khusus juga
untuk perawat neurointervensi. Hal ini penting, karena faktor asisten juga berhubungan
dengan outcome dan kesuksesan
prosedur itu sendiri.
Kedepan, dedicated
neurocathlab sangat diperlukan untuk penatalaksanaan paripurna penyakit
neurovascular dan stroke. Saat ini, beberapa senter di Indonesia telah memiliki
dedicated neurocathlab, dan
diharapakan dalam beberapa tahun lagi model ini akan diadopsi oleh senter-senter
neurologi di seluruh nusantara.
Adanya perkembangan neurointervensi yang sangat signifikan
berpengaruh pada tehnik dan industri device. Namun, filosofi dasar seorang neurointervensionis
tidak boleh ditinggalkan. Keputusan klinis tidak boleh didasarkan pada
ketersediaan device. Keputusan harus tetap didasarkan pada klinis pasien,
semiologi neuroimejing-angioarsitektur, dan natural
history of disease. Evidence terbaru dalam bidang neurointervensi semakin
banyak, hal ini sangat membantu para klinisi untuk mengambil keputusan klinis
yang tepat.
Adanya suatu algoritme bukanlah hal yang rigid. Algoritme akan berubah sejalan dengan munculnya evidence
base terbaru. Prosedur yang tidak berdasarkan evidence base seharusnya dihindari oleh para klinisi. Karena hal
ini akan berdampak pada outcome dan
aspek legal prosedur itu sendiri.