“ Berburu ke padang datar, dapat rusa belang kaki
Berguru kepalang ajar, bagai bunga kembang tak jadi.”
Dosen muda itu masih duduk terpekur di pojok perpustakaan
universitas, hatinya galau, gundah gulana. Matanya menatap tajam pada tumpukan
disertasi, produk intelektual mahasiswa tingkat doktoral. Perpustakaan ini
menjadi saksi bisu, betapa banyak jerih payah ilmiah strata tertinggi ini hanya
teronggok tak bersuara, tak dikenal, bahkan oleh masyarakat kampusnya sendiri.
Tak terperi usaha yang dilakukan oleh para doktor dari berbagai
kampus, sebelum disertasinya resmi menjadi bagian koleksi perpustakaan. Waktu,
tenaga dan biaya, habis sudah untuk membayarnya selama rata-rata tiga sampai
lima tahun. Adakah harga yang mahal ini sudah memberikannya manfaat ?
memberikannya nilai tambah, baik dihadapan Allah apalagi hanya sekedar
dihadapan manusia ?
Masih lekat dalam bayangnya, dari dunia pesantren, tumpukan
kitab-kitab referensi berwarna kekuningan yang di pegang erat oleh para santri.
Kitab-kitab itu sebagian besar berasal dari abad lampau, namun masih abadi,
menjadi rujukan para santri mengaji dan mengkaji. Kitab-kitab ini menjadi mata
air.
Serupa itu, dalam dunia kedokteran, ada banyak buku-buku induk yang saat ini menjadi referensi, dijadikan bahan rujukan, pengaruhnya melekat tak terbantahkan, di sitasi oleh banyak buku dan penelitian-penelitian lain. Buku-buku ini juga menjadi mata air.
Mengapa ada produk ilmiah yang menjadi mata air, dan mengapa ada produk lainnya hanya menjadi “air mata” ?