Beberapa tahun silam, dalam setiap diskusi, dokter muda
ini begitu terkesima dengan ketajaman analisis seorang dokter senior. Dari
keilmuan dan pengalaman klinis-nya, tak ada seorang peserta diskusi-pun yang
mampu membantah argumentasinya. Semuanya mengamini, semuanya mengikuti
advis-advis yang disampaikannya. Kata-katanya yang tajam dan rasional, sejalan
dengan deretan gelar yang disandangnya.
Dokter senior tersebut dikenal luas, baik di tingkat lokal
maupun nasional. Para junior yang bekerja bersamanya, memberikan apresiasi
tinggi dan sangat menghormatinya. Sejalan dengan itu, namanya dikenal luas
dikalangan media maupun neurosaintis.
Dokter muda ini beberapa kali berinteraksi dan berdiskusi dengan
sang Tokoh. Mulanya dia bangga bisa berdiskusi dan bersanding dalam forum
ilmiah, setidaknya sejajar dengan senior yang ditokohkan banyak orang. Namun,
sedikit demi sedikit kekagumannya pudar. Apa yang dicitrakan oleh khalayak dan
media ternyata tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta yang dilihatnya. Fakta itu
mengaduk-aduk perasaannya. Kekaguman itu pecah menjelma menjadi sebuah
kekecewaan mendalam.
Dokter muda ini melihat bagaimana ilmu pengetahuan
ternyata tidak perlu selalu sejalan dengan etika. Pengambilan keputusan klinis
pada pasien ternyata tidak perlu harus selalu menguntungkan pasien dengan
sepenuhnya. Hubungan antar kolega dokter tidak perlu selalu dijunjung tinggi
dengan alasan “untuk kepentingan pasien,” namun sesungguhnya, sangat kentara, semua
bermuara pada kepentingan profan dan materialistik. Ilmu pengetahun tidak lagi
semata-mata ilmu, namun juga bergelinjang menjadi suatu permainan politik yang
tak lagi elok dirasakan dan dipandang mata.
Ketenaran dan keilmuan, setidaknya pada tokoh ini, sungguh
merupakan ujian belaka. Kedua hal ini, apabila ada pada satu individu ternyata
potensial menciptakan “kesombongan” intelektual.
Dokter muda ini kini memahami, ketokohan dan ketenaran
hanyalah fakta superfisial. Ilmu pengetahuan sungguh serupa pedang, sebagaimana
telah disampaikan Al-Ghazali dalam kitabnya Bidayatul Hidayah. Pedang tersebut
sangat bergantung pada siapa tuan pemiliknya. Pedang bisa menjadi milik
perampok yang bengis, ataupun Raja dan penguasa yang adil.
Tentu ada banyak lagi Tokoh dan Dokter selebriti yang selama
ini hanya dikenal masyarakat lewat media. Masyarakat sungguh tidak mengenal
secara substansial ketokohan dan kepakarannya. Ditambah lagi, di era dimana
para dokter bisa mengiklankan diri mereka dan kelompoknya di media. Kemampuan
yang biasa saja disulap menjadi “kepakaran” luar biasa. Penguasaan keilmuan
yang standar saja dapat disulap menjadi terkesan
“outstanding expert” tanpa tandingan.
Dalam akhir perenungannya, dia memohon ampun kepada sang
Pencipta dan berlindung dari “bermegah-megah” dalam ilmu dan kehidupan dunia.
Ya qawiyyu ya matiin, ikfi asy-syarra ad-dhalimiin.