Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Monday, 15 September 2014

Coil Cinta untuk Adinda (A True Story)

Malam itu, seorang wanita paruh baya, dengan pakaian sederhana, masuk ruang praktek di sebuah rumah sakit Surabaya. Disampingnya seorang lelaki kurus dengan rambut tak tersisir rapi. Tampak jelas guratan kekawatiran pada wajah wanita tersebut, sedikit menahan sakit dan bicara terbata-bata.
 
Lelaki itu mulai berbicara tentang kondisi istrinya, meski sederhana, cara bicaranya cukup jelas, dan tampak cukup berpendidikan. Dia mengeluarkan beberapa lembar foto CT Angiografi. Sambil dia tampak tetap mencoba menenangkan istrinya yang sedikit menahan sakit. Dokter yang sejak tadi tertegun mulai tersadar, “ ah…” dia mendesah…inilah pasien yang beberapa hari lalu diceritakan oleh seniornya dari Jakarta.
 
Dua malam sebelumnya, dokter tersebut menerima email, isinya singkat “ tolong dibantu pasien ini mas, kalau dikerjakan di Surabaya pasti lebih murah karena pasien berdomisili di Surabaya…….” di bawah email tersebut, di-forward – juga email dari lelaki yang tak lain adalah orang yang saat ini duduk dihadapannya.
 
Ya….sang istri mengalami SAH dan dirawat sejawat neurolog di salah satu rumah sakit swata. Setelah melakukan CT Angiografi, neurolog tersebut menemukan aneurysma dan menjelaskan dua modalitas yang mungkin dilakukan, coiling atau clipping.
 
Dari sinilah awal ceritanya, sang suami googling tentang prosedur coiling dan clipping. Dia begitu kawatir, dan tidak menginginkan dilakukan clipping yang merupakan prosedur open surgery pada istrinya. Satu-satunya opsi yang dia inginkan adalah coiling. Dia tahu coiling lebih mahal dari clipping. Dengan dana sangat terbatas, dia bersikeras tidak ingin melihat istrinya dilakukan operasi besar di kepala. Apapun, dia ingin istrinya pulih cepat sempurna atau dengan kecacatan minimal.
 
Dari internet pula, sang suami kemudian mengenal neurointerventionist senior di Jakarta, dan terjadilah komunikasi email tersebut.
 
Sejak awal dokter berjumpa kedua pasangan ini, dia melihat betapa keduanya saling menyayangi. Cara sang suami berbicara dan menenangkan dan memperlakukan sang istri, cukuplah menjadi tanda rasa cintanya.
 
Sambil agak terbata-bata karena kawatir, sang suami menanyakan kira-kira biaya yang akan dihabiskan untuk prosedur coiling. Dokter menunjukkan ukuran aneurysma yang cukup besar dan jumlah coil yang kira-kira akan digunakan serta taksiran biayanya. Dia terdiam dan memandang dokter dalam-dalam. Sang dokter memahami, biaya itu sangat besar untuk ukuran dia dan istrinya. Kemudian dokter menyampaikan bahwa istrinya bisa opname di kelas paling rendah, dokter berjanji akan membantunya. Namun dokter menekankan bahwa untuk coil yang akan dipakai, dia tidak bisa membantu apa-apa, karena itu di luar jangkauannya. Namun, ternyata penjelasan dokter tersebut tetap tidak dapat  menenangkannya.
 
Akhirnya, dokter menyarankan untuk menjadi peserta BPJS, ada beberapa device yang bisa dibantu BPJS termasuk sewa cathlab kecuali coil. Lelaki itu terdiam, …dan berjanji akan datang lagi apabila sudah siap.
 
Lebih dari sebulan sang dokter tidak mendengar kabar. Dokter berpikir mungkin akhirnya opsi clipping yang dipilih, atau……..pikiran buruk sudah muncul di otaknya…..ya…..Rebleeding ! Mungkin saja pasien meninggal akibat rebleeding, karena angka mortalitas rebleeding adalah 50%. Dokter tersebut mencoba menghilangkan pikiran buruknya, “Ah…..sudahlah, mudah-mudahan baik-baik saja,” ungkapnya.
 
Malam itu sangat cerah, bunga-bunga didepan rumah sakit tampak bermekaran, menambah indahnya malam. Tak disangka, lelaki kurus itu, masih bersama istrinya, datang masih dengan wajah kawatir. Dia bercerita harus berjuang mendapatkan uang untuk persiapan coiling. Dia kemudian menyebutkan jumlah uang yang dia persiapkan. Dokter terdiam,……dalam hati berguman…..” uang sejumlah itu masih belum cukup”. Kemudian lelaki tersebut juga antusias mengatakan sudah menjadi peserta BPJS.
 
Dokter tidak mungkin mematahkan harapannya, sudah lebih sebulan dia berjuang, dan malam ini sudah kembali dan masih bersama istrinya. Dokter segera menyarankannya untuk segera opname agar prosedur segera dikerjakan.
 
Sampai di IRD, pasien dikirim ke ruangan. Agar dapat memilih dokter yang telah merawatnya, pasien naik kelas perawatan dari hak BPJS-nya. Dan akhirnya pasien bisa dirawat oleh dokter tersebut. Sehari menjelang prosedur, pasien minta turun kelas, sesuai kelas perawatan, bahkan dia tidak mampu membayar selisih kelas tersebut. Sedangakan prosedur coiling telah dijadwalkan.
 
Pagi esok harinya, dokter melakukan DSA dengan 3D untuk melihat morfologi aneurysmanya. Dokter memanggil lelaki tersebut masuk ruang operasi. Tampak sang istri masih terbaring diatas meja cathlab dan masih dalam pegaruh obat anastesi. Dokter menjelaskan kembali prosedur coiling. Dokter menyampaikan mungkin coil yang dimasukkan lebih banyak dari perkiraan semula. Dia kembali terdiam, tidak menjawab. Ucapan dokter yang pelan dan jelas itu, tentu saja seperti halilintar baginya. Bagaimana mungkin ? untuk jumlah coil sesuai perkirakan saja, dia harus berjuang untuk mendapatkan uang, apalagi jika jumlah coil lebih dari itu.
 
Dokter tahu kekawatirannya, dan mencoba menenangkan, “nanti saya bantu Pak….” Lelaki tersebut hanya mengangguk ragu….sambil melirik sang istri yang terbaring di meja operasi.
 
Setelah satu jam berlalu…..lelaki tersebut kembali dipanggil memasuki ruang cathlab. Dokter mengulurkan tangannya “Selamat Pak….prosedur coiling berlangsung baik tanpa komplikasi apapun….” , dokter menyambung “ saya memasukkan 6 coil…”
 
Rasa terharu campur takut menyelimuti perasaan lelaki tersebut. Dia tidak tahu, dari mana dia harus membayar tambahan 2 coil, dokter semula hanya memperkirakan 4 coil. Akhir ditengah kebingungannya yang tak terpecahkan, dia berguman “ ah…yang penting istri saya selamat, biarlah saya berhutang pada rumah sakit…. meski tak tahu bagaimana membayarnya”.
 
Pagi itu, cuaca begitu cerah setelah hujan semalaman, bunga yang kemarin kuncup kini sudah mekar. Diruang perawatan, dokter melihat kedua pasangan ini tampak tersenyum menyambutnya visite. Keduanya tampak bahagia, demikian juga sang dokter. Wajah-wajah sederhana itu bersinar bahagia, sinar bahagianya bahkan mengalahkan pendar cahaya dari balik jendela kamar perawatannya.
 
Sang lelaki berusaha mendekati dokter tersebut, sambil berbisik, …”terimaksih banyak dok, dokter telah membantu saya…” Sang dokter hanya tersenyum, dia masih belum mengerti, apakah lelaki tersebut telah mendapatkan uang untuk melunasi sejumlah coil dengan harga lumayan banyak tersebut. Sepertinya tak ada lagi beban pada dirinya.
 
Lelaki itu kembali tersenyum, dalam hati dia berkata "dokter tidak tahu bahwa dia baru saja seolah mendapat “mukjizat.” Pagi itu…tatkala dia membereskan semua biaya pengobatan ke bagian administrasi, petugas mengatakan bahwa dia tidak perlu membayar semua biaya pengobatan, tidak ada tambahan apapun yang perlu dibayarnya……!
 
Seminggu telah berlalu, sang dokter terkesima menerima email sejawatnya dari Jakarta, email tersebut juga memforward sebuah email dengan judul email GOD’S INTERVENTION, email cukup panjang, dan inilah bagian akhir email tersebut :
 
“Sampai saat ini saya tidak habis fikir bagaimana bisa terjadi, dan sampai saat ini saya tidak berani tanya soal ini.
Saya hanya percaya this is God' Intervention, some kind of miracle for my wife. Saya hanya bisa ucapkan terima kasih sebesar besarnya atas kerja dokter berdua for this big work (for me at least).
Saya akan coba bercerita soal neurointervention the fact, the truth and the controversy.”…….