درؤ المفاسد مقدم على
جلب المصالح
“Dar’ul
mafaasid muqaddamun ‘ala jalbil mashaalih”
Menghindari Kerusakan itu harus diutamakan dibanding mendatangkan Kebaikan
Kesimpulan
apakah kira-kira yang bisa diambil dari tiga hasil riset neurointervensi
terbaru ? Riset tersebut adalah SAMMPRIS, IMS 3 dan ARUBA. Ketiga studi ini
membandingkan tindakan neurointervensi (invasif) dan terapi medikamentosa (non
invasif). Hasilnya, secara umum dikatakan terapi non-invasif memiliki keluaran
lebih baik, yang berarti tindakan neurointervensi lebih inferior.
SAMMPRIS
membandingkan prosedur intracranial stenting versus best medical management
pada intracranial stenosis.
IMS 3
membandingkan tindakan endovaskuler pada stroke infark akut dengan segala
modalitas (IA trombolisis, trombectomy) dibandingkan IV trombolisis.
ARUBA membandingkan
tindakan bedah, endovaskuler, radiosurgery pada pasien dengan AVM intracranial dibandingkan
terapi konservatif.
Meski banyak
hal yang perlu diperdebatkan terhadap ketiga hasil riset ini, kesimpulan
umumnya adalah bahwa janganlah terlalu agresif. Tindakan intervensi akan memberikan
manfaat hanya pada kasus-kasus spesifik, dan tidak pada semua kasus. Apabila
tindakan dan prosedur intervensi yang bersifat invasif tersebut ternyata memberikan keluaran yang
kurang baik dibandingkan dengan tanpa dilakukan prosedur, maka tentu pilihannya
adalah tidak melakukannya. Akan tetapi hal ini
tidak berlaku untuk kasus-kasus spesifik. Ambillah contoh pada ARUBA, angka
morbiditas (stroke) dan mortalitas pasien dengan unrupture AVM dan tidak dilakukan intervensi adalah sekitar
10% dalam tiga tahun. Artinya, 10 diatara 100 orang yang dilakukan terapi konservatif
akan mengalami stroke atau kematian. Apakah berarti terapi konservatif lebih
baik ? tentu saja tidak dan masih jauh dari ideal. Ada AVM yang unrupture namun
potensi rupturnya sangat besar, nah AVM yang demikianlah yang perlu dilakukan
terapi agresif meskipun unruptur, misalnya AVM unrupture dengan intranidal
aneurysm atau AVM dengan venous pouch yang besar.
Namun secara
umum, dengan mengkesampingkan kasus-kasus spesifik, kaidah diatas dapat
digunakan sebagai patokan. Dimana tujuan suatu prosedur adalah mendatangkan
kebaikan bagi pasien, dan jika ternyata prosedur itu memiliki potensi komplikasi yang
lebih besar, maka menghindari prosedur tersebut agar tidak menimbulkan
komplikasi lebih dianjurkan dibanding tetap melakukan prosedur dengan tujuan
memperbaiki kondisi pasien. Hal ini sebenarnya sudah dilakukan secara praktis
pada pemberian IV rTPA, dimana terdapat kriteria eksklusi. Pasien yang masuk
kriteria eksklusi memiliki potensi perdarahan yang besar, maka mengingat potensi perdarahan tersebut, IV rTPA tidak diberikan, meskipun mungkin juga apabila diberikan berpotensi memberikan manfaat.
Kedepan, barangkali perlu dibuat formula berupa kaidah-kaidah neurointervensi, kaidah
tersebut merupakan kaidah singkat dan dapat dipakai secara praktis untuk
tatalaksana pasien sehari-hari.
Kutipan
kaidah diatas sebenarnya merupakan kaidah ushul fiqh. Ushul fiqh merupakan ilmu
hukum islam, didalamnya terdapat kaidah-kaidah pengambilan hukum (ijtihad) yang
telah disusun dan di formulasikan secara sederhana namun memiliki makna dan
cakupan yang luas. Kaidah-kaidah ushul fiqh sangat berguna dan memiliki manfaat
praktis sebagai panduan dalam menyikapi masalah-masalah kehidupan keseharian.