“Ini sudah kesekian kalinya....” desah Neurolog muda saat menerima hasil bacaan imejing dari keluarga
seorang pasien yang terkena stroke. Secara klinis, sangat jelas bahwa pasien
ini mengalami SAH dan cukup jelas pula secara klinis bahwa penyebabnya adalah
aneurysma yang berasal dari P.com kiri, dimana terjadi partial occulomotor
palsy. Bacaan CTA yang dimintanya hanya terbaca SAH dan tidak ditemukan
aneurysma. Saat mengamati dengan cermat, dengan menkorelasikan volume
perdarahan kanan-kiri dan hematoma pada CT scan dengan klinis pasien, dia
melihat satu bentukan aneurysma pada
P.Com kiri.
Bagi dokter yang mau sedikit susah, dia akan datang ke
work-station tempat CTA dilakukan untuk meminta kembali rekonstruksi gambarnya.
Namun, bagi sebagian dokter lain, itu tentu menghabiskan waktu, aplagi harus menunggu
hasil rekonstruksi lanjutan sesuai dengan permintaannya. CTA dengan 16 slices mungkin saja tidak begitu
tinggi akurasinya dibandingkan CTA dengan 64 slices, namun pemahaman akan klinis
pasien dan gambaran dasar CT scan, setidaknya dapat membantu mendetaksi
aneurysma pada pasien ini.
Tentu saja pilihannya kemudian adalah cerebral DSA dengan
3D. Bagi pasien ini tentu tidak menguntungkan, karena dia akan dua kali
terpapar kontras. Apabila sejak awal kemampuan deteksi CTA (dengan operatornya)
tidak cukup tinggi, maka seharusnya cukup dilakukan CT scan tanpa kontras,
kemudian dilanjutkan dengan cerebral DSA 3D.
Bagaimanapun canggihnya tehnologi tidak akan terlepas dari
peran dokter dan operator. Pemahaman akan stroke, gambaran klinis, anatomi
neurovaskuler dan hemodinamikanya serta kemampuan membaca neuroimejing dan
neurovaskuler imejing sangat diperlukan. Hal-hal diatas akan sangat membantu
klinisi untuk mendiagnosa penyakit secara cepat, serta merencanakan penanganan
yang cepat pula. Disini peran radiologist yang mengusai secara paripurna
Neuroradiology sangat diperlukan. Tidak cukup banyak di negara ini Neuroradiologist
dengan analisa tajam. Setidaknya, neurologist muda ini telah beberapa kali
mendapatkannya.
Sebagai bagian tak terpisahkan adalah peran Neurologist itu
sendiri. Cukup banyak neurolog yang berpuas diri dengan hasil bacaan yang ia
terima, meskipun sebenarnya tidak cukup sesuai dengan tampilan klinis pasien.
Bayangkanlah jika SAH diputuskan sebagai non-aneurysmal SAH, dan kemudian di
terapi konservatif, sedangkan sebenarnya aneurysma tak dapat dideteksi akibat
sensitifitas imejing maupun dokter pembacanya, pasien akan segera datang dengan
koma akibat serangan kedua.
Banyak contoh-contoh lain di luar kisah diatas. Ternyata,
Klinisi seharusnya terus belajar secara tajam Neuroimejing dan Neurovaskuler
Imejing. Demikian juga dengan Radiologist, perlu sangat serius mendalami
Neuroradiology dan Neurovascular Imejing dan perlu menyempatkan waktu untuk cek
dan cross-check bagaimana sesungguhnya kondisi klinis pasien.
Komunikasi sesungguhnya adalah kunci utamanya, jika
komunikasi berjalan baik, masalah demikian dapat dijembatani. Pada senter
cerebrovaskuler yang baik, work-station bukan hanya berada di ruang radiologi,
namun juga berada di bagian neurology/neurosurgery, sehingga, jika klinisi ragu
akan hasilnya, dapat merekonstruksi sendiri dengan meng-import data. Hal ini
tidak telalu sulit, karena works station dari bagian radiologi connecting
dengan bagian neurology/neurosurgery.
Semoga saja, tahun depan, semua harapan ini dapat
diwujudkan, setidaknya ditempat dimana neurolog muda tersebut bekerja.