“Brain Wash” hanyalah prosedur Diagnostik yang diklaim sebagai prosedur Terapeutik.
Begitu banyaknya keluhan pasien akan tidak bermanfaatnya “brain wash” pada kasus neurologi (saraf), menggelitik kita semua untuk memberikan dan meluruskan “kesalah-kaprahan” ini. Keluhan itu mulai dari “tidak berubah”-nya kelumpuhan pasien setelah tindakan, sampai penyakit-penyakit lain yang tidak ada hubungannya sama sekali juga dilakukan "brain wash", seperti vertigo perifer dan nyeri kepala semacam migrain. Cara-nya sangat mudah, pada pasien stroke, dijanjikan pemulihan yang luar biasa setelah tindakan (sebagaimana dimuat dalam sebuah majalah dan bisa diakses online). Pada pasien non-stroke, diberikan info bahwa nanti akan terjadi stroke dan kelumpuhan. Pasien dengan stroke yang membaik (tentu bukan karena “brain wash”-nya, tapi karena natural recovery) diundang untuk seminar awam, dan diberikan waktu untuk melakukan testimoni.
Keluhan yang lebih menyedihkan berasal dari seorang pasien tidak mampu, karena keinginan sembuhnya demikian besar, dengan berharap dapat beraktivitas normal kembali, pasien dan keluarga rela berhutang untuk tindakan “brain wash” yang tidak murah. Setelah tindakan “brainwash” mereka kembali kontrol ke Rumah Sakit pemerintah dengan menggunakan jaminan untuk masyarakat miskin (Jamkesda/Jamkesmas), dan mengeluhkan pada dokter saraf di rumah sakit tersebut bahwa tidak ada perbaikan pada stroke- nya, dan hutangnya juga belum terbayar.
Jauh lebih menyedihkan, beberapa kolega dokter, baik suaminya maupun orang tuanya juga dilakukan tindakan “brain wash” dengan tanpa meminta “second opinion” pada dokter spesialis saraf lainnya. Mereka baru menyadari setelah tindakan itu dilakukan, bahwa “brain wash” tidak memberikan manfaat.
Adanya tindakan kurang etis dan terpuji juga dilakukan oleh sejawat yang melakukan tindakan “brainwash” ini. Pasien yang dikirimkan oleh spesialis saraf ke suatu Rumah Sakit untuk tindakan diagnostik semisal MRI, ditawari untuk dilakukan prosedur dengan “Brain wash”, dan beberapa pasien berhasil di motivasi. Lalu dimanakah letak etika kedokteran dalam kasus ini ?
Sekedar mengingatkan kembali, bahwa “brain wash” yang diklaim sebagai tindakan terapeutik adalah tindakan diagnostik semata. Obat-obatan yang di klaim sebagai “pencuci” adalah heparin yang memang lazim digunakan, bukan hanya untuk tindakan neurointervensi, namun juga cardiointervensi. Modus terakhir yang memprihatinkan, yang dilakukan sejawat dokter tersebut adalah menyuntikkan LMWH (low molecular weight heparin) setelah tindakan, ini sebagai pengganti heparin, karena takut akan efek sampaing perdarahnnya, sedangkan yang diinjeksikan pada saat prosedur “brain wash” hanyalah cairan fisiologis (Normal saline 0,9%) yang biasanya dipakai untuk infus intravena.
Adanya “brain wash” di Indonesia telah menjadi pergunjingan di luar negeri. Sekali lagi, tidak satupun senter neurointervensi dunia yang merekomendasikan pengobatan semacam ini. Kerja keras para peneliti untuk mencari pengobatan stroke yang sangat efektif ternyata hanya diterjemahkan secara sederhana oleh beberapa orang dokter.
Bagi keluarga yang memiliki pasien stroke,apabila ada penawaran tentang “brain wash” ini, sebaiknya berhati-hati dan berkonsultasi terlebih dahulu serta mencari pendapat dari dokter lainnya, . Informasi ini mungkin bisa bermanfaat sebagai penyeimbang (counter discourse), disaat “brainwash” terus di kampanyekan tiada henti, meskipun sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah kuat.