Selamat Datang di Dunia Neurovaskular & Neurointervensi

idik

idik

Saturday 24 January 2015

Mengapa Neurovaskular Kontemplatif ?


Dalam oxford dictionaries, to contemplate berarti think deeply and at lenght, atau berarti pula look thougtfully for a long time. Kontemplasi mengandung makna berpikir mendalam dalam waktu beberapa lama. Kontemplasi dalam bahasa agama adalah bertafakkur.

Dalam kehidupan keseharian seorang dokter dan professional, terutama di Indonesia, berkontemplasi atau bertafakkur merupakan 'barang' langka. Waktu mereka habis dengan kegiatan keseharian yang bersifat praktis dan tekhnis. Contoh sederhana adalah seorang nevist yang berkutat dengan prosedur setiap hari. Rutinitas prosedur tersebut seolah tanpa makna, menjadikannya seolah mesin. Sehingga, seorang sahabat nevist dari Jepang, yang baru saja mengikuti expert lecture, berguman “ I am an endovascular machine.” Dia baru menyadari, bahwa gambaran angiografi dan klinis pasien, bagi sang pakar, merupakan sumber ilmu dan filosofi yang berlimpah.

Seorang sejawat nevist juga mengeluh tak punya banyak waktu, bahkan untuk sekedar me-review kembali prosedur-prosedur yang telah banyak dia kerjakan. Waktunya siang-malam habis untuk prosedur, praktek dan visite. Sungguh, baginya, duduk beberapa saat dan melakukan kontemplasi merupakan hal mewah.

Melakukan kontemplasi dan bertafakkur merupakan pijakan untuk melakukan suatu tindakan. Mengutip Kang Jalal, “Tafakkur memang mengajak orang naik ke abstraksi yang tinggi, supaya ia turun ke bumi dengan petunjuk yang kongkret.” Sehingga, tindakan yang tidak didahului tafakkur sama jeleknya dengan tafakkur yang tidak disusul dengan tindakan.”

Melakukan kontemplasi dan tafakkur, bagi seorang nevist, dapat dilakukan secara formal maupun informal. Fellowship yang telah dilaluinya selama beberapa lama dengan ratusan contoh kasus merupakan wahana dan kesempatan untuk bertafakkur. Ditambah lagi dengan partisipasinya dalam berbagai kegiatan dan acara ilmiah bersama para pakar. Secara informal,  yaitu saat ia meluangkan waktu untuk mengkaji prosedur-prosedur yang telah ia kerjakan, memformulasikannya dalam sebuah kerangka ilmiah, mengambil kesimpulan dan memetik pelajaran dari setiap prosedur yang telah ia kerjakan.

Neurovaskuler Kontemplatif sebagai nama dari Blog ini juga awalnya bertujuan demikian. Mencoba menyederhanakan kesimpulan yang diambil dari interaksi dengan prosedur intervensi neurovaskuler, dan belakangan juga bersinggungan dengan isu-isu serta tema yang lebih sosial dalam neurosains.
Mungkin konten dari blog ini tidak se-ideal namanya, itu sangat disadari. Tulisan-tulisan disini sesungguhnya bukanlah hasil kontemplasi ‘sungguhan’, ia hanyalah kontemplasi instan, kontemplasi sesaat, merupakan usaha ditengah hiruk-pikuknya aktivitas dan usaha untuk selalu ‘mencoba memahami Hakekat dibalik Realitas’.

Tulisan-tulisan disini juga dimaksudnya sebagai sebuah catatan harian tentang pernak-pernik neurovaskuler, agar ‘kisah-kisah indah’ yang terekam dalam benak tidak terbang terhembus angin. Meskipun apa yang terkesan ‘indah’ bisa menjadi tidak indah bagi orang lain.

Kontemplasi dalam tulisan-tulisan ini diharapkan menjadi bagian dari yang disebut ‘tafakkur’ sebenarnya, meskipun mungkin masih sangat jauh dari itu. Diharapkan, termasuk yang disebut dalam sabda Baginda Nabi Muhammad SAW “ Bertafakkur satu saat lebih baik dari ibadah satu tahun.”

Apabila di kemudian hari tampak kekurangtepatan tulisan-tulisan ini, biarlah ia menjadi catatan akan kebodohan dan kekurangsempurnaan manusia. Kadangkala, kita banyak belajar dari kesalahan yang telah kita lakukan, untuk tidak mengulanginya lagi. Bukan hanya dalam soal tulisan, dalam prosedur-prosedur neurointervensi juga demikian. Bukankan seorang pakar neurointervensi dunia menjadi pakar justru karena banyak belajar dari ribuan prosedur sulit dan beberapa kegagalan yang telah  dilakukannya.

Akhirnya, hanya kepada Allah kami menyembah, dan hanya kepada-Nya kami memohon pertolongan.

Sunday 11 January 2015

The Best Pianist Never Play Violin


Adalah Michihiro Tanaka, seorang Neurosurgeon sekaligus seorang Endovascular Neurosurgeon (Neurointerventionist) dari Kameda Hospital Jepang, yang menyampaikan ungkapan diatas. Sebagai seorang dokter yang mendapat dual training sekaligus, beliau menekankan pentingnya spesialisasi, dan hanya memilih satu diantara dua keahlian untuk menjamin dan mencapai Top Expertise. Beliau memilih hanya menjadi seorang Neurointerventionist saja.

Serupa dengan itu, jika mengikuti jalan Michihiro, seorang interventional Radiologist semestinya perlu memilih menjadi interventional Neuroradiologist saja, ataukah menjadi interventional Radiologist (neuro dan perifer) dan sekaligus diagnostic Radiologist.

Sedangkan seorang neurologist yang sekaligus neurointerventionis, juga sebaiknya memilih menjadi general neurologist ataukah akan  menjadi seorang interventional neurologist yang hanya sibuk dengan kasus-kasus neurovaskuler dan neurointervensi semata. Idealnya, seorang neurologist yang neurointerventionist hanya disibukkan dengan kasus stroke, neurovaskuler dan neurointervensi. 

Jika Top Expertise adalah sesuatu yang seharusnya dicapai, maka memilih satu subspesialisasi merupakan suatu keniscayaan. Di Indonesia, di rumah sakit senter pendidikan hal demikian mungkin telah dimulai, meskipun masih jauh dari ideal. Pengembangan divisi dan subspesialisasi yang optimal akan memunculkan banyak riset dan akan menjadikan senter tersebut pendidikan subspesialisasi yang baik. 

Problem yang terjadi di Indonesia adalah soal salary, gaji, fee, remunerasi dan sejenisnya. Sehingga, jika ini diaplikasikan saat ini, bisa jadi seorang neurointerventionist hanya akan duduk (tak) tenang tanpa prosedur apapun, mengingat sistem belum berjalan baik. Sampai saat ini, jadilah seorang neurointerventionist masih juga menangani pasien-pasien neurologi lainnya. Masih juga melakukan terapi pain dan epilepsi, serta merawat pasien movement disorder dan infeksi. 

Maka, bolehlah kita bernyanyi dengan iringan piano dan biola sekaligus, meskipun lagu yang kita nyanyikan berjudul “The Best Pianist Never Play Violin.”